Ini pengamatan saya baru-baru ini. Saya jelaskan dulu ya. Research Center hasil kerja sama UGM dan sebuah universitas di Jepang sedang membuka pendaftaran untuk program seminar di universitas di Jepang tersebut. Program yang menggunakan bahasa Inggris ini peminatnya cukup banyak padahal kuota untuk peserta dari UGM hanya 2 orang saja. Oleh karena itu, dari kami harus melakukan sesi wawancara. Kemampuan bahasa Inggris para pendaftar ini tidak diragukan dibuktikan dengan sertifikat TOEFL atau IELTS dengan score di atas rata-rata. Kebetulan, koordinator research center yang bisa berkomunikasi dalam bahasa Jepang mencoba menguji kemampuan berbahasa Jepang pendaftar yang mengaku mengerti sedikit bahasa negeri matahari terbit ini. Hanya perkenalan singkat saja.
Dan semua peserta yang mengaku memiliki sedikit kemampuan bahasa Jepang memulai perkenalannya dengan kalimat, "watashi wa (nama) desu. watashi wa ...."
Dan semua peserta yang mengaku memiliki sedikit kemampuan bahasa Jepang memulai perkenalannya dengan kalimat, "watashi wa (nama) desu. watashi wa ...."
Sebagai lulusan jurusan Sastra Jepang yang meneliti tentang bahasa Jepang dan (ehm) lumayan lancar berbahasa Jepang, saya merasa geli ketika mendengar kata "watashi" itu. Kenapa? Karena orang Jepang biasanya jarang menyebutkan kata tersebut. Bukan, bukan karena kata tersebut bermakna buruk atau apa. Namun, karena orang Jepang biasanya tidak menyebutkan subjek dalam kalimat yang mereka ujarkan. Mereka biasanya menyebutkan kata "watashi" bukan sebagai subjek, melainkan topik, yang hanya disebutkan pada kalimat pertama saja, atau untuk menunjukkan perbandingan.
Hal ini yang biasanya menyulitkan para penerjemah Jepang-Indonesia. Karena mereka biasanya bingung mengenai subjek yang tidak disebutkan pada kalimat asal (bahasa Jepang), sementara kalimat tersebut akan menjadi kalimat yang tidak berterima dalam bahasa Indonesia jika tidak mendapat subjek. Mengenai ini sebenarnya sudah ada juga yang menulis tesisnya di fakultas Ilmu Budaya UGM. Sayangnya saya lupa judul dan pengarangnya. (Maaf)
Pelesapan subjek ini berkebalikan dengan ujaran bahasa Indonesia, yang bisa dibilang cukup aktif dalam menyebutkan subjek. Dan sepertinya bahasa Inggris juga begitu. Walaupun bahasa Indonesia memiliki kesamaan dengan bahasa Jepang mengenai jumlah kata yang lebih dari satu untuk menyebut kata ganti orang pertama, seperti "saya", "aku", "diriku", dsb pada bahasa Indonesia, dan "watashi", "watakushi", "boku", "ore", "atashi", "uchi", dsb pada bahasa Jepang. Perbedaan kata-kata tersebut terletak pada tingkat kesopanan. Beberapa kata ganti orang pertama dalam bahasa Jepang juga hanya dipakai oleh jenis kelamin, golongan dan usia tertentu.
Lalu, memang kenapa sih, kalo orang Indonesia sering menyebutkan kata "watashi"? Salah, ya?
Tidak juga. Hanya terdengar tidak alami. Yah, ini cuma pendapat dari sesama pembelajar bahasa Jepang, sih.
Sama, kesannya jadi bahasa Jepang yang diterjemahkan langsung tanpa filter dari bahasa Indonesia begitu. Kaya mau bilang "saya tidak apa-apa" jadi "I'm no what what" gitu ke bahasa Inggris.
Yah, saya juga tahu kalo orang Indonesia cukup pintar untuk mengetahui kalo kalimat tersebut terjemahan ngawur. Oke, saya kasih satu contoh lain, deh. Contoh ini (sayangnya) tidak saya dengar langsung, tapi saya dengar dari seorang teman tentang orang lain yang mengatakan, "I have three children, but still little-little."
Saya tidak pintar bahasa Inggris. Jadi saat saya mendengar kalimat ini pertama kali saya agak bingung, "apa yang aneh dengan kalimat tersebut?". Namun setelah saya mengulang dalam hati kalimat tersebut, barulah saya ngeh dan tertawa. Menertawakan keanehan kalimat tersebut dan kelemotan saya sendiri.
Jadi, yang sebenarnya ingin saya sampaikan adalah, mempelajari suatu bahasa asing itu tidak cukup hanya dengan memahami arti kata per kata. Dalam satu kata bisa memiliki berbagai arti, arti sebenarnya maupun kiasan, dan arti yang muncul hanya jika kata tersebut berderet dengan kata yang lain. Karena arti kata itu muncul dari budaya. Untuk memahami arti kata dalam suatu bahasa, kita juga harus memahami budaya yang melatarbelakangi bahasa tersebut.
Bahasa dan budaya ini bisa dibilang bersifat timbal balik. Kita bisa mengetahui budaya seseorang dari bahasanya, dan kita bisa menilai suatu bahasa dari budaya yang melatarbelakanginya. Inilah salah satu daya tarik mempelajari bahasa, yang baru-baru ini saya sadari sebagai pembelajar bahasa asing. Mungkinkah hal ini akan menjadi titik tolak untuk menjadi peneliti bahasa?
Rada oot sama judulnya, tapi biarlah...
published in: http://bahasa.kompasiana.com/2014/05/23/kecenderungan-menyebut-kata-watashi-pada-pembelajar-bahasa-jepang-tingkat-dasar-indonesia-657364.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar