Sabtu, Februari 21, 2015

untitled

Aku adalah monster!
Atau mungkin lebih tepatnya malaikat kematian.
Tapi aku hanya mengambil nyawa hewan-hewan. Hanya dengan sentuhanku.
Aku tidak tahu apa penyebabnya. Tapi aku sudah mengetahuinya sejak kecil.

Sejak dulu, aku ingin memelihara banyak hewan. Aku hanya bisa tersenyum sambil merasa cemburu diam-diam saat teman-temanku menceritakan tentang sikap hewan peliharaannya yang lucu-lucu.
Kucingnya Ria yang selalu mendekatinya dan tidur di pangkuannya setiap ia duduk duduk di sofa, atau anjingnya Lala yang selalu melonjak-lonjak kegirangan dan mengibaskan-kibaskan ekornya saat melihat Lala datang.

Aku menyayangi hewan-hewan. Namun, entah karena sudah waktunya atau apa, hewan-hewan yang kusentuh sedikit saja, akan kutemukan dalam keadaan tak bernyawa esok harinya, atau tak pernah kelihatan lagi.

Aku memutuskan untuk tidak menyentuh hewan lagi semenjak Mimi, hamster milik Eli mati setelah Eli mengizinkanku untuk mengelusnya saat Eli membawanya ke sekolah hari sebelumnya.

Teman-temanku tidak tahu mengenai keadaanku, tetapi aku selalu merasa bersalah setiap berada bersama mereka.
Perlahan-lahan, aku pun menjauh dari mereka.

Namun, rasa sayangku pada hewan tak begitu mudah untuk menghilang. Untungnya aku menemukan jalan untuk mengobati rasa sedih karena tak dapat menyentuh hewan-hewan.

Buku. Terutama majalah-majalah tentang hewan. Aku tak pernah absen membeli majalah Lovely Pets setiap minggunya.
Sepulang sekolah setelah aku membelinya, aku selalu membacanya di bawah pohon mangga di halaman belakang rumahku.

Namun, rasa sayangku terhadap hewan menjadi semakin besar. Dan itu membuatku semakin sulit untuk menahan perasaan ingin membelai kucing atau anjing yang berpapasan denganku saat aku pergi atau pulang sekolah.

Entah karena perasaanku terpampang dengan jelas di wajahku, seorang gadis yang kira-kira berusia 5 tahun lebih tua dariku, yang sedang berjalan-jalan dengan anjingnya, tiba-tiba mendekatiku. Aku agak terkejut dan sontak bergerak mundur.
Lalu ia tersenyum dan berkata padaku untuk tidak usah khawatir karena anjingnya adalah anjing yang jinak. Ia pun menambahkan bahwa ia dan anjingnya sering melihatku pulang sekolah dengan wajah sedih saat melihat mereka bermain di taman yang kulewati sepulang sekolah.
Aku biasanya hanya melihat dari jauh, tapi hari ini aku bisa melihat jelas bulu anjing yang berwarna coklat bercampur hitam itu tampak sangat halus dan berkilau. Ekornya bergoyang-goyang sangat menggemaskan. Di lehernya ada kalung berwarna merah dengan bandul lonceng kecil.

Si kakak bertanya apakah yang membuatku sedih, dan aku hanya menggeleng pelan. Ia pun berkata bahwa aku boleh membelai anjingnya jika itu bisa membuatku lebih senang.
Tentu itu akan membuatku sangat bahagia, pikirku. Namun, kakak akan menjadi sangat sedih esok harinya.
Tanpa kusadari kakak itu sudah meraih tanganku dan mendekatkannya ke badan anjingnya. Aku terkejut dan spontan menarik tanganku. Lalu begitu kusadari aku sudah berlari meninggalkan mereka. Aku mendengar si kakak berusaha memanggilku sambil meminta maaf di tengah gonggongan anjingnya. Tapi ia tidak mengejarku. Mungkin ia berpikir aku berlari karena takut pada anjingnya, dan ia merasa bersalah sudah berusaha mendekatkanku dengan anjing yang kutakuti.

Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku merasa bersalah pada si kakak. Aku menyesal langsung berlari meninggalkannya, aku menyesal atas apa yang mungkin terjadi keesokan harinya.
Walau hanya sekejap, aku merasa telah menyentuh sedikit punggung anjing si kakak. Aku berharap semoga itu hanya perasaanku saja.

Esoknya, aku tak melihat mereka di taman yang aku lewati. Itu membuatku merasa bersalah dan yakin bahwa aku telah menyentuh si anjing, yang menyebabkannya mati sehingga ia dan si kakak tak tampak bermain di taman ini.

Sore harinya, entah apa yang mendorongku untuk kembali ke taman itu. Dan aku sangat terkejut saat melihat anjing itu di sana.
Ya, ia ada di sana. Anjing berbulu coklat bercampur hitam yang halus dan berkilau, dengan kalung merah berbandul lonceng di lehernya.
Tapi ia tidak sedang bermain-main. Ia hanya duduk diam memandangi seorang gadis yang seusia denganku yang sedang membelainya.
Pakaian gadis itu serba hitam, dengan mata yang sembap. Tapi ia tidak sedang menangis. Mungkin tangisnya sudah berhenti. Ia hanya membelai anjing itu sambil berusaha tersenyum, walau gurat kesedihan masih tampak di wajahnya. Lalu tiba-tiba ia melihat ke arahku. Aku terkejut dan langsung berlari kembali ke rumah.

Aku mulai memikirkan berbagai hal dalam perjalanan ke rumah. Siapa gadis itu? Apa hubungannya dengan si kakak? Anjing itu masih hidup, jadi aku memang tidak menyentuhnya? Atau sentuhanku sudah tidak membuat hewan mati?
Pikiran-pikiran lainnya masih berkecamuk sampai aku tiba di rumah lagi. Saat itu aku menyadari bahwa aku belum melihat Ibu hari ini.

Aku melihat jam, sebentar lagi pukul 7 malam. Ayah juga seharusnya sudah pulang satu jam yang lalu. Namun aku hanya sendiri di rumah.
Aku melihat jendela kamarku. Rumah-rumah di sekitar rumahku tampak gelap. Apa mereka sedang pergi ya, pikirku.

Sudah hampir pukul 10 malam. Tapi aku masih sendiri di rumah.
Aku menunggu dan menunggu sampai akhirnya tertidur.