Ini cerita tentang counter culture shock yang kualami setelah pulang dari Tokyo. Buat yang ga ngerti culture shock, intinya sih, perasaan kaget, kagum, bingung, heran yang dialami seseorang yang memasuki suatu komunitas dengan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan dari komunitas tempat ia tumbuh. Well, ini definisi ala aku sih. So, correct me if I'm wrong.
Nah, counter culture shock itu, culture shock yang dirasakan ketika orang tadi kembali ke komunitasnya. Karena dah terlanjur terbiasa dengan budaya asing tempat ia tinggal sementara, jadi kaget waktu pulang gitu, lho.
Yang aku alami salah satunya berhubungan dengan lalu lintas. Kalau jalan-jalan di Shibuya atau Shinjuku aku suka sebel sama lautan manusia, di Jogja atau Solo, aku sering marah-marah sama kendaraan yang tak berhenti lalu lalang. Ditambah pula dengan suara bising klakson, dan jalanan yang tidak rata.
Aku akan fokus ke klakson. Ga ada alasan khusus, sih.. Aku mungkin memang hyper-sensitive sama suara klakson, kalau denger pasti ngomel-ngomel.
Tiga hari setelah pulang dari Tokyo, aku harus pergi dengan sepeda motor dari Boyolali ke kampusku di Jogja. Buat yang ga tau Boyolali, itu Kabupaten di Jawa Tengah yang dekat sama Solo. SMA ku juga dulu di Solo. Jadi kadang aku selalu bilang aku dari Solo. Biar lebih pendek juga suku katanya. Toh, aku emang lahir di situ. :p
Jadi kalau di tengah-tengah alu bilangnya jadi "Jogja-Solo", itu karena kebiasaan. Lagipula, ga beda-beda jauh juga jaraknya.
Perjalanan yang biasanya kutempuh sekitar 1 jam hingga 1 jam setengah, (pengaruh kebanyakan liat MotoGP), saat itu menjadi 2 jam. Aku memang menunggang motorku dengan kecepatan yang lebih lambat dari kecepatan sebelum aku ke Tokyo. Karena masih kagok, dan saat itu jalanan cukup ramai.
Kenapa ga naik kereta atau bis?
Karena aku memang ga terbiasa naik kendaraan umum sejak masuk kuliah. Karena lebih praktis dengan motor, karena rumahku jauh dari stasiun, karena aku ga suka dengan bis yang penuh pengamen. Masalah pengamen ini, mungkin akan aku bahas kalau aku ada niat dan bahan. Hehehe.
Setelah 2-3 kali menempuh perjalanan dengan sepeda motor, akhirnya aku merasakan kesenangan naik sepeda motor itu lagi. Aku jarang mabuk kalau naik mobil, tapi aku benci bau AC kendaraan. Dan sepeda motorlah solusinya. Karena anginnya alami. Hehehe..
Sayangnya rasa senang itu tidak lama karena aku dapat masalah baru. Yep. Klakson.
Sudah dari dulu aku merhatiin sih, orang-orang banyak yang suka klakson. Dan aku benci sama orang-orang itu. Kalau klakson sekali saja, biasanya untuk menegur pengendara yang sembrono, jadi kadang kumaafkan. Tapi seringnya, bunyi klakson itu terdengar seperti "Gue mau lewat! Minggir lo!" di telingaku. Alhasil, aku pasti langsung mood-nya jelek, dan ngomel-ngomel 2 jam.
Biasanya bunyi klakson seperti ini terdengar dari mobil di belakangku saat aku mau menyalip kendaraan di depanku dengan masuk ke lajur kanan. Maksudku, "Hey! Beri kesempatan donk! Kita pakai jalan ini sama-sama! Kenapa kamu merasa harus didahulukan?"
Bunyi klakson menyebalkan yang lain adalah bunyi klakson di lampu lalu lintas, apalagi yang ada timer-nya. Kalau timer untuk lampu hijau menurutku bagus, jadi kita bisa mengira-ngira dan tidak memaksakan diri untuk mengejar lampu kuning.
Jujur, aku dulu sering "berlomba" dengan timer lampu hijau. Jika jaraknya menurutku masih terkejar, aku malah akan meningkatkan kecepatan dan biasanya berhasil lolos saat lampu berubah merah sekitar 0,5 detik. Masa lalu.
Yang aku suka sebel adalah saat timer lampu merah, bukan yang hijau lho yaa, masih tersisa 3-5 detik, ada kendaraan yang sudah berisik mengklakson. Dan saat lampu akhirnya menjadi hijau, bunyi klakson ini akan semakin berisik.
"Hello?! Sekali aja ga cukup, ya?! Yang depan juga pasti denger kok.. Kan ga bisa semuanya serentak jalan. Harus urut dari yang depan ke belakang."
Aku ingat mengklakson seseorang di depanku saat lampu baru menjadi hijau. Tapi, itu di perempatan yang kecil dan saat itu hanya ada tiga motor yang berhenti menunggu lampu merah di sana. Aku ada di tengah dan aku mengklakson mbak-mbak di depanku karena aku melihat ia mengeluarkan handphone-nya sesaat sebelum lampu hijau menyala. Huh! Soal handphone di jalan ini, kita bahas nanti. Kalau aku niat.
Biarpun beritanya bukan tentang lalu lintas, aku menyadari di berita-berita apapun, orang-orang yang diwawancara sering berkata "Harusnya pemerintah bla bla bla", "Semoga pemerintah bla bla bla", "Ini adalah kewajiban pemerintah untuk bla bla bla".
Jujur, aku lupa liat berita apa. Yang jelas aku waktu rasanya capek dengerin orang minta ini itu ke pemerintah. Antara kasian karena selalu pemerintah yang dimintai ini itu, dan rasa tidak percaya ke pemerintah dan lembaga-lembaganya. Forget it.
Yang aku mau usul, gimana kalau kita berubah mulai dari diri sendiri. Di jalan sudah banyak anjuran untuk jadi pelopor untuk berkendaraan dengan aman. Aku sih, minta selain aman, yang sabar dan mau saling mengalah.
Kalau masalah ingin cepat sampai, semua juga ingin cepat sampai tujuan. Telat semenit dua menit ga akan bikin mati kok. Mungkin.
"Kan waktu adalah uang" katamu? Kalau gitu, gimana kalau berangkat lebih awal? Jadi tiba pun lebih awal, dan tidak terburu-buru di jalan dan tidak perlu mengklakson semua kendaraan di jalan.
Mari jadi pengendara yang aman dan sabar..
Kebut-kebutan itu ga keren kok.. Keren kalau di lakukan di track yang bener. Pakai pengaman lengkap.
Mahal? Ya itu resiko. Kalau ntar kecelakaan dan masuk rumah sakit, mahal juga jatuhnya.
Mari mulai tanamkan kebiasaan berkendara yang aman dan sabar.
Buat para orang tua, ajarkan sejak dini ke anak-anak anda. Mamaku juga selalu berpesan padaku "Jangan ngebut-ngebut" sejak aku SMA. Kalau nonton MotoGP dan sejenisnya, terangkan kalau mereka berhak kebut-kebutan karena mereka ada di track yang khusus untuk itu, dan mereka pakai pengaman yang cukup. Kalau ada bagian kecelakaan, tunjukkan pada mereka sambil berikan penjelasan, para pembalap itupun kadang dengan pakaian pengaman seperti itu bisa kena cedera.
Stop di sini aja deh sebelum aku mulai ngelantur.
Nah, counter culture shock itu, culture shock yang dirasakan ketika orang tadi kembali ke komunitasnya. Karena dah terlanjur terbiasa dengan budaya asing tempat ia tinggal sementara, jadi kaget waktu pulang gitu, lho.
Yang aku alami salah satunya berhubungan dengan lalu lintas. Kalau jalan-jalan di Shibuya atau Shinjuku aku suka sebel sama lautan manusia, di Jogja atau Solo, aku sering marah-marah sama kendaraan yang tak berhenti lalu lalang. Ditambah pula dengan suara bising klakson, dan jalanan yang tidak rata.
Aku akan fokus ke klakson. Ga ada alasan khusus, sih.. Aku mungkin memang hyper-sensitive sama suara klakson, kalau denger pasti ngomel-ngomel.
Tiga hari setelah pulang dari Tokyo, aku harus pergi dengan sepeda motor dari Boyolali ke kampusku di Jogja. Buat yang ga tau Boyolali, itu Kabupaten di Jawa Tengah yang dekat sama Solo. SMA ku juga dulu di Solo. Jadi kadang aku selalu bilang aku dari Solo. Biar lebih pendek juga suku katanya. Toh, aku emang lahir di situ. :p
Jadi kalau di tengah-tengah alu bilangnya jadi "Jogja-Solo", itu karena kebiasaan. Lagipula, ga beda-beda jauh juga jaraknya.
Perjalanan yang biasanya kutempuh sekitar 1 jam hingga 1 jam setengah, (pengaruh kebanyakan liat MotoGP), saat itu menjadi 2 jam. Aku memang menunggang motorku dengan kecepatan yang lebih lambat dari kecepatan sebelum aku ke Tokyo. Karena masih kagok, dan saat itu jalanan cukup ramai.
Kenapa ga naik kereta atau bis?
Karena aku memang ga terbiasa naik kendaraan umum sejak masuk kuliah. Karena lebih praktis dengan motor, karena rumahku jauh dari stasiun, karena aku ga suka dengan bis yang penuh pengamen. Masalah pengamen ini, mungkin akan aku bahas kalau aku ada niat dan bahan. Hehehe.
Setelah 2-3 kali menempuh perjalanan dengan sepeda motor, akhirnya aku merasakan kesenangan naik sepeda motor itu lagi. Aku jarang mabuk kalau naik mobil, tapi aku benci bau AC kendaraan. Dan sepeda motorlah solusinya. Karena anginnya alami. Hehehe..
Sayangnya rasa senang itu tidak lama karena aku dapat masalah baru. Yep. Klakson.
Sudah dari dulu aku merhatiin sih, orang-orang banyak yang suka klakson. Dan aku benci sama orang-orang itu. Kalau klakson sekali saja, biasanya untuk menegur pengendara yang sembrono, jadi kadang kumaafkan. Tapi seringnya, bunyi klakson itu terdengar seperti "Gue mau lewat! Minggir lo!" di telingaku. Alhasil, aku pasti langsung mood-nya jelek, dan ngomel-ngomel 2 jam.
Biasanya bunyi klakson seperti ini terdengar dari mobil di belakangku saat aku mau menyalip kendaraan di depanku dengan masuk ke lajur kanan. Maksudku, "Hey! Beri kesempatan donk! Kita pakai jalan ini sama-sama! Kenapa kamu merasa harus didahulukan?"
Bunyi klakson menyebalkan yang lain adalah bunyi klakson di lampu lalu lintas, apalagi yang ada timer-nya. Kalau timer untuk lampu hijau menurutku bagus, jadi kita bisa mengira-ngira dan tidak memaksakan diri untuk mengejar lampu kuning.
Jujur, aku dulu sering "berlomba" dengan timer lampu hijau. Jika jaraknya menurutku masih terkejar, aku malah akan meningkatkan kecepatan dan biasanya berhasil lolos saat lampu berubah merah sekitar 0,5 detik. Masa lalu.
Yang aku suka sebel adalah saat timer lampu merah, bukan yang hijau lho yaa, masih tersisa 3-5 detik, ada kendaraan yang sudah berisik mengklakson. Dan saat lampu akhirnya menjadi hijau, bunyi klakson ini akan semakin berisik.
"Hello?! Sekali aja ga cukup, ya?! Yang depan juga pasti denger kok.. Kan ga bisa semuanya serentak jalan. Harus urut dari yang depan ke belakang."
Aku ingat mengklakson seseorang di depanku saat lampu baru menjadi hijau. Tapi, itu di perempatan yang kecil dan saat itu hanya ada tiga motor yang berhenti menunggu lampu merah di sana. Aku ada di tengah dan aku mengklakson mbak-mbak di depanku karena aku melihat ia mengeluarkan handphone-nya sesaat sebelum lampu hijau menyala. Huh! Soal handphone di jalan ini, kita bahas nanti. Kalau aku niat.
Biarpun beritanya bukan tentang lalu lintas, aku menyadari di berita-berita apapun, orang-orang yang diwawancara sering berkata "Harusnya pemerintah bla bla bla", "Semoga pemerintah bla bla bla", "Ini adalah kewajiban pemerintah untuk bla bla bla".
Jujur, aku lupa liat berita apa. Yang jelas aku waktu rasanya capek dengerin orang minta ini itu ke pemerintah. Antara kasian karena selalu pemerintah yang dimintai ini itu, dan rasa tidak percaya ke pemerintah dan lembaga-lembaganya. Forget it.
Yang aku mau usul, gimana kalau kita berubah mulai dari diri sendiri. Di jalan sudah banyak anjuran untuk jadi pelopor untuk berkendaraan dengan aman. Aku sih, minta selain aman, yang sabar dan mau saling mengalah.
Kalau masalah ingin cepat sampai, semua juga ingin cepat sampai tujuan. Telat semenit dua menit ga akan bikin mati kok. Mungkin.
"Kan waktu adalah uang" katamu? Kalau gitu, gimana kalau berangkat lebih awal? Jadi tiba pun lebih awal, dan tidak terburu-buru di jalan dan tidak perlu mengklakson semua kendaraan di jalan.
Mari jadi pengendara yang aman dan sabar..
Kebut-kebutan itu ga keren kok.. Keren kalau di lakukan di track yang bener. Pakai pengaman lengkap.
Mahal? Ya itu resiko. Kalau ntar kecelakaan dan masuk rumah sakit, mahal juga jatuhnya.
Mari mulai tanamkan kebiasaan berkendara yang aman dan sabar.
Buat para orang tua, ajarkan sejak dini ke anak-anak anda. Mamaku juga selalu berpesan padaku "Jangan ngebut-ngebut" sejak aku SMA. Kalau nonton MotoGP dan sejenisnya, terangkan kalau mereka berhak kebut-kebutan karena mereka ada di track yang khusus untuk itu, dan mereka pakai pengaman yang cukup. Kalau ada bagian kecelakaan, tunjukkan pada mereka sambil berikan penjelasan, para pembalap itupun kadang dengan pakaian pengaman seperti itu bisa kena cedera.
Stop di sini aja deh sebelum aku mulai ngelantur.
Cerita tambahan. Aku bukan tipe orang yang suka ngklakson bahkan saat hampir celaka akibat pengendara sembrono di sekitarku. Tapi, saat di perempatan tanpa lampu lalu lintas, anggap aku berjalan di garis y, aku mengklakson ke satu kendaraan yang berjalan di garis x supaya kendaraan itu mengurangi kecepatannya karena aku melihat dari kaca spion di belakangku ada beberapa kendaraan lain. Bukan masalah menang jumlah atau apa, tapi biasanya kalaupun kita mengalah, kendaraan di belakang belum tentu mengalah. Balik lagi ke masalah kesabaran dan kesadaran untuk mengalah tadi yang menurutku masih kurang dimiliki pengendara di Indonesia. Paling ga untuk Jogja dan Solo.
Ah, udah deh. Aku kan mau cerita kalau aku kaget sendiri waktu denger suara klakson motorku. Saking ga pernah ngklakson. Atau karena saat itu malam, jadi terdengar lebih keras?
Ga usah dipikir ah, ga penting juga.
Ah, udah deh. Aku kan mau cerita kalau aku kaget sendiri waktu denger suara klakson motorku. Saking ga pernah ngklakson. Atau karena saat itu malam, jadi terdengar lebih keras?
Ga usah dipikir ah, ga penting juga.
Oyasumi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar