Kamis, Oktober 09, 2014

Kata Depan dan Imbuhan - “ke” dan “di”

Ini tulisan yang saya tulis juga di Kompasiana, (link, klik di sini) dengan judul yang sama.
Tapi sepertinya perlu juga untuk saya share di sini. :)
Jadi langsung saya copas dari draft di situ. Hehehe.

Tentang penggunaan "di" sebagai kata depan dan sebagai imbuhan sebenarnya sudah pernah saya tulis sebelumnya, di tulisan saya yang berjudul, "Penggunaan "di" Sebagai Kata Depan dan Imbuhan - Grammar Nazi Bahasa Indonesia". Namun, karena masih sering menemukan kesalahan yang sama, jadinya saya berpikir untuk menulis lagi tentang "di", ditambah dengan "ke".
Saya menambahkan "ke", karena sama seperti "di". Keduanya adalah kata depan yang memiliki kesamaan bunyi dan huruf dengan imbuhan "ke-" dan "di-".
Kalau dijelaskan dengan tulisan, bisa langsung tahu, mana yang kata depan, dan mana yang imbuhan, karena yang imbuhan diikuti dengan tanda "-" yang menunjukkan bahwa morfem (biar mudah, kita sebut "kata" saja, ya) tersebut tidak memiliki arti sebelum dilekatkan (diikuti) oleh kata lain. Sehingga "ke" dan "di" sebagai imbuhan ("ke-" dan "di-") penulisannya tidak perlu dipisah.
Dan untuk imbuhan menurut saya tidak masalah, karena kesalahan yang sering saya temukan adalah penulisan "ke" dan "di" sebagai kata depan. Sebagai kata depan, kedua kata ini penulisannya harus dipisah dengan kata yang muncul setelahnya.
Membedakannya sebenarnya mudah.
Untuk "di", tinggal dilihat saja apakah dia adalah predikat sebuah kalimat pasif atau tidak. Kalau iya, berarti itu imbuhan, jadi disambung. Kalau tidak, berarti kemungkinan dia adalah kata depan yang menunjukkan keterangan tempat.
Untuk "ke", mungkin lebih mudah untuk melacak mana "ke" sebagai imbuhan, karena "ke-" biasanya diikuti "-an". Posisi tanda "-" menunjukkan posisi imbuhan. Kalau dia mengikuti imbuhan berarti awalan (contoh: "ke-", "di-", "me-", "ber-") dan kalau mendahului berarti akhiran (contoh: "-an", "-i", "-kan"). Jadi, kalau ada kata yang diawali "ke-" dan diakhiri "-an", kemungkinan itu kata dasar yang sudah diimbuhi "ke--an".
Misalnya, "kebangsaan", "kemanusiaan", dsb.
Saya bilang kemungkinan loh yaa... (Eh, "kemungkinan" juga bisa jadi contoh kata dasar yang diimbuhi "ke-an"!)
Soalnya, ada juga frasa "ke depan", dan "ke kanan". Hehehe. Jadi harus hati-hati juga.
Kata depan "ke" itu menunjukkan tujuan. Dan karena dia kata depan, jadi penulisannya harus dipisah dengan kata yang muncul setelahnya.
Sepemikiran saya mengenai penyebab kekacauan penulisan ini, adalah booming hp yang bisa sms (short message service, alah, dah pada tahu semua kan?)
Waktu itu untuk bisa berkomunikasi dengan murah, dipilihlah sms. Namanya juga "short message", jadi apa-apa disingkat, deh. Biarpun sekarang sms murah, tapi dengan alasan menyingkat waktu, hampir semua orang menyingkat kata saat menulis sms atau menulis di situasi yang tidak formal  seperti chatting, status FB, nge-tweet, dsb.
Penyingkatannya bisa berupa penghilangan huruf vokal, ditambah penghilangan beberapa huruf konsonan, menggantikan bagian kata yang berbunyi mirip dengan angka, dll. Yang penting lawan bicara bisa menerka apa huruf yang hilang itu, dan bagaimana bunyi kalimat seutuhnya.
Nah, ada satu cara penyingkatan yang menurut saya membuat orang-orang bingung (atau tidak peduli) mengenai pemisahan dan penyatuan penulisan "ke" dan "di". Yaitu menghilangkan spasi pada "ke" dan "di" sebagai kata depan di sms.
Misalnya, waktu mau bertanya, "di mana?", saya sering menyingkatnya menjadi "dmn?", dan ada juga yang menyingkat menjadi "dmna?". Begitu pula dengan "ke mana?", disingkat menjadi "kmn?" atau "kmna?".
Lalu, kebiasaan penyingkatan ini terbawa terus sehingga saat mau menulis yang formal, skripsi misalnya, banyak yang bingung (atau tidak peduli) untuk membedakan "ke" dan "di" kata depan serta "ke" dan "di" imbuhan.
Terus, solusinya bagaimana?
Nah, itu dia. Karena menurut saya ini masalah apakah seseorang peduli atau tidak untuk menggunakan tata bahasa yang baik dan benar, jadi memang harus dimulai dengan kesadaran masing-masing. Harus lebih cermat dan kritis pada tulisan sendiri dan orang lain.
Kalau tidak yakin mana yang benar dan mana yang salah, kan ada mbah google, atau KBBI online.
Saya sempat agak ragu dengan penulisan "ke mana" dan "kemana" saking banyaknya orang yang menulis "kemana". Bahkan ada teman saya yang berpendapat kalau penulisan "kemana" sudah benar karena merupakan kata tanya. Setelah saya coba cek di KBBI online, tidak ada kata "kemana", dan lebih banyak teman-teman yang mengatakan kalau penulisan "ke mana" lah yang benar karena "ke" adalah kata depan, yakinlah saya kalau "ke mana" yang benar.
Itu salah satu alasan saya menulis lagi tentang "di" ditambah "ke" ini.
Alasan lainnya begini, saya dulu kuliah di Fakultas Ilmu Budaya, tapi sekarang bekerja di sebuah kantor di Fakultas Hukum di universitas yang sama. Jadi saya kadang bisa mampir ke fakultas almamater saya itu.
Nah, waktu di sana, ketemu dosen atau teman-teman lama, kadang ditanya, "Gana (panggilan saya) sekarang di Hukum?"
Kalau di tulisan jelas maknanya, tapi kalau dilisankan, bunyinya kan jadi sama dengan "Gana sekarang dihukum?"
Haduh... Saya jadi kriminal apa gitu dihukum?
Ada juga versi lainnya seperti "Gana sudah berapa lama di Hukum?" atau "Gana masih di Hukum?"
Melanggar peraturan apa saya sampai dihukum..?
Hahaha...
Bahasa memang menarik....

Tidak ada komentar: